Powered By Blogger

Senin, 13 Desember 2010

Peran Pemerintah dalam Menyikapi Illegal Logging


Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi air, dan kekayaan alam yang ada didalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut, pemerintah sudah sewajibnya menyikapi dengan serius banyaknya kasus illegal logging. Illegal logging merupakan tindakan memanfaatkan sumber daya alam untuk kepentingan pribadi. Berasarkan data dari Departemen Kehutanan tahun 2003, luas hutan Indonesia yang rusak mencapai 43 juta hektar dari total 120,35 hektar dengan laju degradasi dalam tiga tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar pertahun. Data terbaru dari Departemen Kehutanan ( Andriana, 2004:1, dikutip dari buku IGM. Nurdjana 2005:5) menyebutkan bahwa laju kerusakan  hutan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar pertahun dan negara telah kehilangan Rp 83 miliar per hari akibat illegal logging. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa masalah illegal logging merupakan masalah yang serius bagi Indonesia. Untuk itu, diperlukan tindak lanjut dari pemerintah untuk mengatasinya.
Pemerintah telah membuat undang-undang yang dapat dijadikan dasar oleh penegak hukum untuk menindak para pelaku illegal logging, yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Pasal-pasal dari UU Kehutanan dan sejumlah Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindakkan illegal logging antara lain sebagai berikut.
  1. Pasal 50 Ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan, “Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.”
  2. Pasal 50 Ayat (3) huruf f UU Kehutanan menyebutkan, “Setiap orang dilarang: menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.”
  3. Pasal 50 Ayat (3) huruf h UU Kehutanan menyebutkan: “Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.”
  4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Pada tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia. Pada tanggal 18 Maret 2005, 16 menteri dan pejabat setingkat ,menteri serta seluruh  gubernur dan bupati se-Indonesia mendapat tugas untuk meningkatkan, mempercepat, dan menguatkan koordinasi dalam menanggulangi penebangan liar di Indonesia. Tidak lama setelah itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar untuk memimpin tim operasi terpadu penindakan dan pemberantasan, penyelundupan, serta pembalakan liar (illegal logging). Upaya Polri untuk memberantas illegal logging dengan menangkap serta membawa ke meja pengadilan berakibat positif terhadap pengurangan atas tindak pidana illegal logging. Hal ini merupakan bentuk konkret usaha pemerintah dalam memberantas illegal logging.

Dalam upaya menangani kasus illegal logging, pemerintah sedang merencanakan UU Tindak Pidana Kehutanan (Tipihut). Undang-undang tersebut menerapkan ancaman sanksi minimum dalam penegakan hukum bidang kehutanan. UU Kehutanan tidak menerapkan ancaman sanksi minimum. Selama ini, tidak adanya sanksi minimum membuat hukuman pengadilan terhadap pelaku kategori menengah ke atas sangat rendah. Berdasarkan pengamatan ICW, cukong bebas sekitar 71,43%, sedangkan sisanya dihukum di bawah 1 tahun sebanyak 14,29%. Hukuman yang ringan tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku. Selain itu, ringannya hukuman yang diberikan membuat oknum illegal logging tanpa rasa takut melakukan aksinya. Oleh karena itu, UU Tipihut dapat mengatasi kelemahan UU Kehutanan yang tidak menerapkan ancaman sanksi minimum.
Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah harus disertai dengan penegakan hukum. Penegakkan hukum yang tegas tanpa pandang bulu dapat meminimalisir terjadinya kasus illegal logging yang merupakan tindak pidana kehutanan. Setiap pelaku, harus diadili sesuai hukum yang berlaku dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Fakta yang terjadi adalah adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum terhadap pejabat-pejabat yang korupsi dari hasil illegal logging. Bahkan, banyak terjadi putusan bebas. Sanksi tersebut tidak sesuai dengan kerugian yang dialami rakyat.
Untuk mengatasi kasus illegal logging, di lingkungan Departemen Kehutanan dan perkebunan dibentuk Polisi Khusus Kehutanan (polhut) atau Jagawana. Polhut bertindak mengawasi lokasi kawasan hutan agar terhindar dari tindakan penebangan liar. Pengawasan yang lebih intensif diperlukan di lokasi-lokasi hutan tempat terjadinya penebangan kayu secara ilegal. Kepolisian RI (Polri) juga melakukan pengawasan terhadap tindakan illegal logging. Polri memaksimalkan peranan polisi udara dalam memberantas pembalakan liar. Koordinasi antara para penegak hukum mulai dari polisi hingga badan peradilan merupakan hal utama yang harus dilakukan dalam upaya pemberantasan illegal logging.
Untuk mengatasi kasus illegal logging beserta kegiatan perdagangan kayu-kayu illegal tersebut ke luar negeri, pemerintah menjalin hubungan bilateral dengan beberapa negara. Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan pemerintah Kerajaan Norwegia dengan menandatangani Letter of Intent (LoI) tentang Cooperation to Improve Forest Law-Making and Law Enforcement to Combat Illegal Logging. Pemerintah juga telah menjalin kerja sama dengan negara-negara Uni Eropa agar negara-negara Uni Eropa tidak menerima kayu ilegal dari Indonesia. Kerja sama bilateral juga dibangun dengan pemerintah Inggris, Jepang, China, Korea Selatan, dan Amerika. Selain itu, pemerintah juga mencoba menjalin kerja sama kemitraan, yaitu Asia Forest Partnership (AFP) dan East Asia Forest Law Enforcement and Governance and Trade (FLEGT). Hubungan-hubungan diplomasi dengan negara lain dapat mencegah kasus illegal logging yang berkaitan dengan sindikat regional dan internasional penyelundupan kayu dari Indonesia. 
Dalam menyikapi perdagangan kayu ilegal, pemerintah menilai bahwa illegal logging dan perdagangan kayu ileagal merupakan kejahatan lintas negara. Pada bulan April 2007 pemerintah Indonesia mengusulkan resolusi illegal logging sebagai “Transnational Organized Crime” pada UN Commission on Crime Prevention on Criminal Justice (CCPJ) ke-16 di Wina. Usulan tersebut berhasil diadopsi. Hal ini juga menjadi upaya pemerintah dalam mengatasi illegal logging dan perdagangan kayu ilegal.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Akrial, Zul. “Tindak Pidana Kehutanan (illegal Logging) Di Indonesia.” http://www.legalitas.org/node/382 pada 8 desember 2010 pukul 21.14
 “Tantangan Penegakan Hukum bidang Kehutanan.” http://agroindonesia.co.id/2010/08/03/tantangan-penegakan-hukum-bidang-kehutanan/. Pada 8 desember 2010 opukul 21.21
“Kerja Sama Illegal Logging RI-Malaysia Buntu”. http://www.topix.com/forum/world/malaysia/TIGKUBL0G2M23MK25 pada 11 desember 2010 pukul 11.26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer